Waktu yang Dinanti
Aku
tidak tau dari mana harus memulai cerita ini, karena sampai sekarang aku juga
masih belum menemukan akhir dari cerita ini. Aku masih belum tau, apakah akhir
cerita ini akan sama dengan cerita sebelumnya yang harus berakhir dengan sad
ending story dan kembali move on atau sperti cerita-cerita dalam sinetron atau
drama korea yang sering ku lihat. Happy end. Forever.
Cerita ini dimulai kurang lebih tiga tahun yang lalu,
saat aku masih menjadi mahasiswa baru, masih imut-imutnya neh. Aku
adalah tipe orang yang mudah menyayangi orang lain, hal ini baik kalau itu
kepada sesama wanita tapi lain ceritanya
kalau hal ini terjadi pada lawan jenis. Makanya aku menyiasatinya dengan
menjaga pandanganku, aku tidak mau memperhatikan lawan jenisku, selain itu juga
merupakan perintah agama. Karenanya, aku tidak terlalu mengenal orang-orang
yang ada di sekitarku. Kecuali ia orang yang aktif dan sering mengajakku
berbicara. Aku juga hanya tau sedikit dari teman-teman laki-laki
yang se-fakultas denganku, jangankan yang beda jurusan. Yang sekelas-pun ada yang setelah hampir 2 tahun sekelas aku baru hafal namanya.
yang se-fakultas denganku, jangankan yang beda jurusan. Yang sekelas-pun ada yang setelah hampir 2 tahun sekelas aku baru hafal namanya.
Tapi kemudian aku melakukan sedikit kesalahan yang
imbasnya ku rasakan sampai sekarang, di semester ke dua ku di bangku
perkuliahan tanpa sengaja aku memperhatikan seseorang. Dari ketidak-sengajaan
itu ada sedikit rasa kekaguman yang terselip dihatiku padanya yang lama-lama
rasa kagum itu berubah menjadi rasa suka dan menumbuhkan rasa sayang dan aku
tidak tau apakah rasa itu sekarang sudah naik tingkatan menjadi cinta atau
apalah namanya, karena sampai sekarang aku masih belum mengerti dengan ungkapan
cinta pada lawan jenis ini.
Rasa kagumku lahir bukan dari paras atau penampilannya,
tapi sikap “dingin”nya diluar tapi ternyata “hangat” kepribadiannya. Kadang aku
malah merasa tidak sepadan dengannya, karena dia seorang yang shaleh, sementara
aku, yah, seperti inilah. Aku memang bukan orang yang buruk tapi juga tidak
masuk kriteria shalehah.
Banyak hal yang terjadi selama 3 tahun ini, dulu, setahun
setelah aku mulai menyukainya aku berhasil “menghilangkan” perasaan suka-ku
padanya. Tapi hanya kerana hal kecil, rasa itu kembali lagi sampai sekarang.
Sampai sekarang aku belum tau pasti, apa yang membuatku
begitu menyukainya selain karna agamanya yang baik, tapi aku yakin ada alasan
lainnya. Selama ini, orang-orang yang tau tentang kisah hatiku ini merasa
heran. Kenapa aku bisa terus menyukai orang yang bahkan tidak pernah tau aku
menyukainya selama 3 tahun ini, kenapa aku terus bertahan dan menolak hati lain
yang berdatangan untuk menarik hatiku. Bahkan kemungkinan terburuk adalah orang
yang ku sukai ini sama sekali tidak menyukai dan merasa terganggu dengan
kehadiranku dan bahkan perasaanku jika ia tau. Dan mungkin sudah ada seorang
akhwat yang menarik perhatiannya dan membuatnya berniat ntuk mengkhitbah akhwat
itu, wallahua’lam.
Tapi entah kenapa, didalam lubuk hatiku yang terdalam
(hm, lebay ya? Maklum, cinta ga kenal logika katanya, hehehe, maklumin ya?) ada
sedikit harapan bahwa ia juga menyukaiku walaupun sebenarnya ia tidak pernah
memberiku harapan itu, bahkan kadang sikapnya kebalikan dari yang ku harapkan.
Makanya, menurutku bukan hal berlebihan kalau aku baru akan bisa menerima hati
yang lain setelah melihatnya menikah dengan akhwat yang lain, akhwat
pilihannya, akhwat yang pantas untuknya, saat itu terjadi, bagiku saat itulah
akhir dari sedikit harapanku yang selama ini menguatkanku. Karena dengan
begitu, tidak akan ada penyesalan di hatiku kedepannya.
Ada beberapa teman yang menyarankan kepadaku untuk
terlebih dahulu menawarkan diri padanya, mencontoh sikap istri tercinta
Rasulullah saw, Sayyidati Khadijah ra. Hal ini bukanlah hal memalukan bagiku
dan memang sedang menjadi pertimbanganku tapi ternyata untuk masa sekarang
dalam pertimbanganku hal itu sulit untuk ku lakukan karena keinginan orang tua
ku yang mengharuskan aku untuk menyelesaikan studiku dan mencari pekerjaan
terlebih dahulu, setelahnya barulah aku boleh memikirkan untuk menikah.
Karenanya, untuk mengajukan diri aku harus terlebih dahulu meminta ijin pada
orang tua, bagiku itu mutlak dan belum bisa ku lakukan kalau belum memenuhi
syarat.
Beda hal-nya dengan jika khitbahan itu berasal darinya,
aku bisa menerima dan menjalankannya, bahkan ku pikir lebih mudah untuk
meyakinkan orang tua jika berdua dengannya.
Bahkan mungkin akan ada kemungkinan terburuk, aku akan di
jodohkan. Aku bukan orang yang menolak perjodohan karena aku yakin orang tua
pasti memilihkan yang terbaik untuk anaknya, tapi lain urusannya ketika aku
sudah menyukai seseorang.
Kira-kira 1 ½ tahun yang lalu orang tua memberikan sebuah
ultimatum kepadaku, beliau berkata “kalau ada orang yang kamu sukai, bawa
dia pada kami. Tapi kalau tidak kamu harus siap menerima perjodohan...” aku
tidak berpikir bahwa itu adalah sebuah candaan, tapi aku juga belum tau
bagaimana caranya menuruti keinginan mereka itu, karena mungkin saja sampai
sekarang orang yang ku sukai belum tau kalau aku menyukainya, bahkan kalaupun
ia tau besar kemungkinan ia akan megabaikanku. Makanya aku terus menghindari
perbincangan masalah pernikahan dengan orang tua ku dan memilih menunggu sambil
berdoa. Biarkan Allah yang menentukan jalannya dan waktu yang mengungkapkan
segalanya....
With loves n wishes,..
Mila Azkiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar